ARTIKEL
Oleh : Widia Wahana Sari
Pengesahan kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) menuai polemik dari berbagai kalangan masyarakat. Dalam rapat paripurna DPR, selasa 6/12 lalu, terdapat beberapa pasal KUHP baru yang menjadi kontroversi, bukan hanya dari dalam negeri saja, namun juga mendapat kecaman dari berbagai negara dan media luar negeri bahkan persatuan bangsa-bangsa (PBB). Salah satu pasal kontroversional yaitu mengenai pasal pidana perzinahan dan Kohabitasi.
KUHP yang berlaku saat ini merupakan warisan peninggalan penjajah Belanda yang mencerminkan kultur masyarakat Belanda. Peraturan yang membolehkan pasangan pria dan perempuan melakukan hubungan seksual di luar nikah atau zina sepanjang saling setuju atau kedua pasangan sama-sama suka. Perbuatan zina baru akan menjadi pidana apabila salah satunya sudah memiliki pasangan atau keduanya sudah sama-sama menikah. Hal demikian menjadi lumrah terjadi di masyarakat Belanda.
Sedangkan di Indonesia dengan mayoritas penduduk muslim, dianggap tidak sesuai dengan norma atau nilai masyarakat timur sehingga zina dimasukkan dalam delik pidana. Indonesia yang merupakan negara dengan kultur budaya ketimuran dan religius menjadikan keberadaan norma yang berlaku menjadi penting. Khususnya norma yang mengatur masalah perzinahan dan Kohabitasi.
Didalam draft final RKUHP terdapat tiga pasal yang mengatur tindak pidana perzinaan,tertuang dalam pasal-pasal berikut ;
Pasal 411 yang berbunyi;
Ayat (1), setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.
Didalam pasal 412 berbunyi ;
Ayat (1), setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
Kemudian pasal 413 menyebutkan ;
Ayat (1), setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan seseorang yang diketahuinya bahwa orang tersebut merupakan anggota keluarga batihnya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun.
- Terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan:
- Suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; atau
- Orang Tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.
- Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.
- Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.
Berdasarkan pasal-pasal diatas, LGBTQ dalam KUHP bukan termasuk tindak pidana. Lantas bagaimana dengan nasib kaum LGBTQ?
Didalam draf KUHP yang berisi sebanyak 624 pasal itu, tidak ada satupun pasal yang mengatur mengenai LGBTQ. Sedangkan Pemerintah dan DPR sepakat untuk tidak mengkriminalisasi perbuatan lesbian, gay, biseksual, transgender dan queer (LGBTQ). “Undang-undang ini mulai akan diberlakukan setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak KUHP disahkan,” demikian bunyi Pasal 624.
Dengan demikian, terlihat jelas bahwa KUHP masih tidak sesuai dengan hukum adat ataupun kultur yang dianut di Indonesia. Dalam peraturan KUHP perbuatan LGBTQ tidak dianggap sebagai suatu tindak kriminal. Padahal Indonesia bukanlah Negara yang sekuler, karena nilai–nilai agama sangat berpengaruh pada kehidupan sehari-hari. Hukum Islam telah tegas mengharamkan perilaku LGBTQ, bahkan bertentangan dengan sila kesatu dan kedua pancasila.
Oleh karena itu, perumusan tindak pidana kesusilaan seharusnya memasukkan nilai-nilai agama didalamnya. Perumusan kebijakan bukan hanya didasarkan atas kepentingan pribadi ataupun sekelompok orang saja. Namun juga harus menimbang kemaslahatan bersama.
Jika melihat data, dampak dari perilaku LGBTQ ini menunjukkan bahwa perkembangan LGBTQ setiap tahun mengalami peningkatan yang cukup pesat. Berdasarkan data yang dihimpun oleh kementerian kesehatan tahun 2012, jumlah LGBTQ mencapai 1.095.970 jiwa dan jumlah ini diperkirakan dapat mencapai angka yang jauh lebih besar. Pada tahun 2022 Kemenkes RI merilis data yang menyatakan bahwa terdapat sekitar 519.158 jiwa mengidap HIV yang tersebar diseluruh provinsi di Indonesia.
Pada saat ini eksistensi LGBTQ terus dibangun dengan alasan hak asasi manusia tanpa diskriminasi, mereka berusaha melegalkan hubungan dan perkawinannya sehingga melahirkan identitas komunitas masyarakat baru. Komunitas LGBTQ mendapat dukungan dari kaum liberal dengan mendirikan organisasi persatuan hingga pembentukan yayasan dana internasional seperti Global Equality Fund yang merupakan lembaga keadilan, advokasi, perlindungan dan dialog untuk menjamin pelaku LGBTQ hidup bebas tanpa diskriminasi.
Kondisi demikian apabila terus dibiarkan akan membahayakan keberlangsungan kehidupan generasi mendatang dan mengancam kepunahan generasi manusia. Untuk itu harus ada sinergi bersama dari seluruh aspek baik dari pemerintah, lingkungan masyarakat serta keluarga untuk mendidik dan mengawasi agar generasi kita terhindar dari perilaku LGBTQ.
Salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk mencegah dan melindungi dari perilaku LGBTQ adalah dengan kembali kepada Pedidikan Agama Islam.
Penulis : Widia Wahana Sari Mahasiswa Pascasarjana UM Sumatera Barat