22/12/2025
IMG-20251215-WA0007

ARTIKEL / OPINI

Bencana banjir dan longsor yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat beberapa waktu lalu kembali menimbulkan pertanyaan penting tentang cara kita memahami bencana. Selama ini, hujan deras dan cuaca ekstrem sering dijadikan penjelasan utama. Namun, jika melihat besarnya dampak dan jumlah korban yang muncul, sulit untuk mengatakan bahwa faktor alam bekerja sendirian.

Berdasarkan data dari BNPB, peristiwa ini telah menimbulkan korban jiwa dalam jumlah besar dan membuat ratusan ribu warga terdampak. Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa ada persoalan yang lebih mendasar, terutama terkait kondisi lingkungan yang semakin rentan akibat aktivitas manusia.

Di Aceh, banjir dan longsor menyebabkan sekitar 415 orang meninggal dunia, sementara puluhan ribu warga terdampak dan harus mengungsi. Banyak wilayah yang terkena dampak berada di sekitar sungai dan daerah perbukitan. Dalam beberapa tahun terakhir, kawasan hulu di Aceh mengalami tekanan cukup besar akibat pembukaan lahan. Ketika hutan berkurang, air hujan tidak lagi tertahan dengan baik dan langsung mengalir ke wilayah permukiman.

Situasi yang hampir sama terjadi di Sumatera Utara. Sekitar 349 orang dilaporkan meninggal dunia, dengan puluhan ribu warga terdampak akibat banjir dan longsor. Longsor banyak terjadi di daerah berbukit yang mengalami perubahan tutupan lahan. Hilangnya vegetasi alami membuat tanah menjadi lebih mudah jenuh air dan kehilangan kekuatannya saat hujan turun dalam waktu lama.

Sumatera Barat juga mengalami dampak yang tidak kalah serius. Sekitar 242 orang meninggal dunia dan puluhan ribu warga terdampak. Wilayah ini memang secara geografis tergolong rawan bencana. Namun, kerentanan tersebut semakin meningkat ketika kawasan hutan penyangga terus menyusut. Perubahan tata guna lahan yang tidak memperhatikan kondisi alam membuat wilayah ini semakin mudah terdampak banjir dan longsor.

Jika dilihat secara keseluruhan, bencana di tiga provinsi ini telah menewaskan lebih dari seribu orang dan berdampak pada ratusan ribu warga. Polanya relatif seragam, yakni kerusakan paling parah terjadi di wilayah yang mengalami tekanan lingkungan. Hal ini menunjukkan bahwa bencana tidak bisa dipahami hanya sebagai peristiwa alam, tetapi juga sebagai konsekuensi dari cara manusia mengelola ruang hidupnya.

Penyebutan istilah “bencana alam” sering kali membuat persoalan terlihat sederhana, seolah-olah manusia tidak memiliki peran di dalamnya. Padahal, kerusakan hutan dan alih fungsi lahan telah mengubah keseimbangan lingkungan. Hujan deras dalam kondisi seperti ini hanya menjadi pemicu dari masalah yang sudah lama terbentuk.

Penanganan darurat tentu sangat penting untuk membantu korban. Namun, jika tidak disertai dengan evaluasi serius terhadap pengelolaan lingkungan, bencana serupa berpotensi terus terulang. Bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat seharusnya menjadi bahan refleksi bahwa menjaga lingkungan bukan hanya urusan ekologis, tetapi juga menyangkut keselamatan dan keberlanjutan hidup masyarakat.

Pada akhirnya, bencana yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak bisa dipandang sebagai kejadian yang berdiri sendiri. Ia adalah hasil dari proses panjang yang sering kali luput dari perhatian, mulai dari perubahan fungsi hutan hingga cara pembangunan dilakukan tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang. Sebagai masyarakat, terutama generasi muda dan kalangan akademik, peristiwa ini seharusnya menjadi bahan refleksi bersama. Bencana bukan hanya soal hujan dan alam, tetapi juga tentang pilihan-pilihan manusia dalam mengelola lingkungan. Jika cara pandang ini tidak berubah, maka bencana serupa kemungkinan besar akan terus terulang dengan korban yang semakin besar.

Penulis: Solahudin Nur Azis
Dosen pembimbing: Angga Rosidin S.I.P.,M.A.P
kepala program studi: Zakaria Habib Al-Razie S.IP.,M.SOS